Membeli Asuransi, Perlu atau Tidak?


Jika pertanyaan ini diajukan kepada penjual asuransi, jawabannya pasti “PERLU!”, alasannya bukan karena memang perlu, tapi karena sudah menyangkut periuk nasi si penjual asuransi. Sebagai konsumen tentunya kita tidak dapat percaya begitu saja. Jawaban sebenarnya adalah “BELUM TENTU”. Karena bisa jadi ada risiko-risiko yang sebenarnya tidak perlu diasuransikan.

Tak jarang pula saya menemui orang yang dengan semangat membeli berbagai jenis asuransi dari A sampai Z dalam rangka ‘membenahi keuangan keluarga’. Namun bukan keuangan keluarga yang terbenahi, tetapi justru hanya menambah beban pengeluaran.

Sekadar untuk ilustrasi dalam pembahasan kali ini, anggaplah ada sebuah risiko yang nilainya sebesar Rp 1 juta. Probabilitas terjadinya risiko ini dalam satu tahun adalah 1%. Atau dengan kata lain, dari 100 orang, dalam satu tahun ada 1 orang yang mengalami risiko tersebut. Untuk mengatasi risiko ini, 100 orang tersebut mengumpulkan uang masing-masing sebesar 1% x Rp 1 juta = Rp 10 ribu per tahun. Dana yang terkumpul adalah sebesar Rp 1 juta, yang kemudian akan diserahkan kepada satu orang yang mengalami risiko tersebut.

Jika perusahaan asuransi ingin memasarkan produk asuransi untuk risiko ini, maka Rp 1 juta disebut ‘uang pertanggungan’, dan Rp 10 ribu/tahun disebut ‘premi’. Perusahaan asuransi bukanlah lembaga amal yang melakukan kegiatannya dengan sukarela. Sebagaimana perusahaan lainnya, perusahaan asuransi juga mencari keuntungan, dan juga memiliki beban operasional yang perlu ditutupi. Oleh karena itu, di atas pungutan premi sebesar Rp 10 ribu/bulan, akan mereka bebankan biaya tambahan, misalnya Rp 5 ribu/tahun, sehingga premi total menjadi Rp 15 ribu/bulan. Rp 5 ribu/tahun ini digunakan untuk menutupi biaya operasional dan juga untuk keuntungan untuk pemegang saham.

Singkatnya, dalam contoh ini, Rp 15 ribu/tahun adalah setoran premi yang terdiri dari Rp 10 ribu/tahun yang merupakan ‘biaya asuransi’ dan Rp 5 ribu/tahun yang merupakan ‘overhead’. Rp 15 ribu tersebut dipakai untuk menutupi risiko dengan probabilitas 1%/tahun dengan besar Rp 1 juta.
Jika ada 100 orang yang membeli produk asuransi ini, maka perusahaan asuransi akan mendapatkan pemasukan sebesar 100 x Rp 15 ribu/tahun = Rp 1,5 juta/tahun. Sedangkan pengeluarannya adalah 1% x 100 x Rp 1 juta = Rp 1 juta. Selisih Rp 500 ribu digunakan perusahaan asuransi untuk menutupi biaya operasional dan juga untuk dibukukan sebagai keuntungan.

Tentunya gambaran di atas hanyalah penyederhanaan. Aslinya tentu tidak sesederhana gambaran di atas. Walaupun demikian seharusnya sudah cukup untuk menjelaskan konsep asuransi dan bagaimana perusahaan asuransi menjalankan kegiatannya. Sekarang mari kita hubungkan dengan keperluan untuk membeli asuransi.

Bagaimana misalnya jika ada orang dengan penghasilan relatif sangat besar, misalnya sebesar Rp 50 juta per bulan. Apakah dia perlu membeli asuransi di atas? Tentu saja tidak, karena risiko finansial sebesar Rp 1 juta per bulan tidaklah sulit untuk ditutupi. Dengan tidak mengasuransikan risiko tersebut, orang ini menghemat biaya overhead sebesar Rp 5 ribu/tahun. Jika dia memilih untuk mengasuransikan risiko tersebut, maka dia akan  kehilangan Rp 5 ribu/tahun tersebut untuk hal yang sebenarnya tidak perlu dia keluarkan.
Prinsip pertama: “Semakin rendah risiko finansial (relatif terhadap kekayaan nasabah), maka semakin tidak perlu diasuransikan.”

Contoh di atas mengasumsikan probabilitas terjadinya musibah dalam satu tahun adalah 1%. Artinya dalam satu tahun, ada satu dari seratus orang yang mengalami musibah. Bagaimana jika probabilitas terjadinya musibah adalah 90%, dan bukan 1%? Atau dengan kata lain ada 90 orang dari 100 orang yang mengalami musibah.

Jika itu yang terjadi, maka perusahaan asuransi akan menaikkan biaya premi, yang tadinya hanya Rp 15 ribu/tahun menjadi sekitar 90x lipat, yaitu Rp 1,3 juta. Kalau begini situasinya tentunya lebih baik tidak usah diasuransikan, karena setoran premi per tahun lebih besar daripada uang pertanggungannya itu sendiri. Lebih baik uangnya disimpan, lalu jika terjadi musibah baru digunakan untuk menutupi risiko finansial yang terjadi.
Bagaimana jika probabilitasnya 100%, atau dengan kata lain datangnya musibah merupakan suatu kepastian? Maka dapat dipastikan setoran premi akan lebih besar daripada uang pertanggungan yang akan didapatkan. Ini karena perusahaan asuransi juga mencari keuntungan dan memiliki ongkos operasional yang harus ditutupi.

Prinsip kedua: “Semakin tinggi probabilitas terjadinya musibah, maka justru semakin tidak perlu diasuransikan.”

Tak jarang agen asuransi jiwa menakut-nakuti calon nasabah dengan tingginya terjadinya risiko saat usia nasabah bertambah. Padahal ini terbalik. Semakin tinggi risiko, justru semakin tidak perlu diasuransikan.
Lalu bagaimana jika misalnya perusahaan asuransi menaikkan harga premi yang tadinya Rp 15 ribu/tahun menjadi misalnya Rp 500 ribu/tahun?  Dengan overhead setinggi itu, nasabah kini memiliki pilihan untuk ikut asuransi dan kehilangan Rp 500 ribu/tahun; atau tidak ikut asuransi dan dalam dua tahun akan terkumpul dana sebesar uang pertanggungan. Pilihan kedua jelas jauh lebih menarik. Memiliki uang tunai ekstra sebesar Rp 500 ribu/tahun tentunya jauh lebih menarik ketimbang memiliki polis asuransi dengan uang pertanggungan sebesar Rp 1 juta.

Prinsip ketiga: “Semakin besar premi relatif terhadap uang pertanggungan, maka semakin tidak perlu diasuransikan.”

Terakhir, sepertinya ada sebuah anggapan bahwa asuransi akan mengurangi probabilitas terjadinya musibah. Ini tentunya salah, asuransi hanya akan mengurangi risiko finansial dari sebuah musibah. Asuransi tidak akan mengurangi probabilitas terjadinya musibah. Bahkan, akibat adanya moral hazard, justru probabilitas terjadinya klaim akan lebih tinggi setelah nasabah ikut asuransi.

Prinsip keempat: “Asuransi hanya menutupi risiko finansial dari suatu risiko. Asuransi tidak akan mengurangi probabilitas terjadinya risiko. Jika tidak ada risiko finansial, maka tidak perlu diasuransikan.”

Empat prinsip di atas adalah prinsip-prinsip yang perlu dipertimbangkan masak-masak sebelum membeli  asuransi. Bisa jadi dengan tidak mengambil asuransi ternyata lebih menguntungkan secara finansial.

0 Comments

Post a Comment