Ngopi, Eh Ngrokok Dulu...


Selamat pagi pemirsa. Sudah ngopi? Jangan lupa ngrokok lho. Hampir semua orang tahu dampak negatif yang terkandung dalam rokok. Bagi para perokok, bahan berbahaya seperti asam asetik, naptalin, asetanisol, geraniol, toulene, dan lainnya tentu sangat berbahaya bagi tubuh mereka. Namun, meski tiap hari kalian beri tausiah tentang bahaya merokok, atau kalian tulis "Merokok menyebabkan kematian" pada bungkus rokok, percayalah itu tidak akan serta merta bisa membuat mereka untuk berhenti merokok. Kenapa? Karena mereka sangat relegius. Bagi mereka kematian itu di tangan Tuhan, tidak ditentukan oleh rokok. Pret!

Dalam konteks Islam, ada yang lebih berbahaya dari rokok itu sendiri, yaitu MUI. Ya, fatwa MUI yang menyatakan bahwa rokok itu haram. Kenapa fatwa MUI lebih berbahaya? Karena fatwa haram semacam itu bisa berdampak pada anjlognya sensitifitas hukum umat Islam dan menurunnya pandangan terhadap sakralitas agama. Artinya, bila terlalu banyak fatwa haram pada berbagai aspek kehidupan tetapi tidak dihiraukan, maka masyarakat akan beranggapan bahwa hanya fatwa haram yang akan keluar, bukan fatwa haram yang sebenarnya. Terbukti, sudah banyak fatwa haram yang dikeluarkan MUI ternyata tidak dipatuhi oleh sebagian besar umat Islam. Misalnya fatwa haram menonton tayangan infotainment, golput, bunga bank dan lain sebagainya. Catatan: Di Arab Saudi, kata haram bisa ditafsirkan "tidak boleh", sedangkan di masyarakat kita ditelan sebagai "sesuatu yang mengandung dosa".

Ketidakpatuhan masyarakat terhadap fatwa fatwa tersebut dikhawatirkan menjadikan masyarakat tidak lagi merasa sensitif terhadap hukum yang diberikan. Ketika MUI mengeluarkan fatwa lagi, masyarakat akan bertanya: "Ini fatwa haram beneran atau fatwa haram haraman?".


Fatwa MUI terkadang memang membingungkan dan cenderung maksa sehingga aplikasinya terlihat ngoyo. Contoh, kelompok Islam A menyatakan rokok adalah haram, sedangkan kelompok B menyatakan makruh. Sehingga ada kesan di masyarakat bahwa yang tidak termasuk dalam kelompok A atau B berarti ya boleh boleh saja. Ya sudah, sementara masuk kelompok C saja biar bisa kedal kedul. Mencla mencle. Terlebih lagi, fatwa yang mengharamkan rokok untuk anak-anak. Itu berarti, anak anak sudah terkena dampak hukum. Padahal sejauh yang saya tahu, anak anak adalah golongan belum mukallaf - belum wajib melaksanakan hukum syariat. Jika haram berbuah dosa, lalu siapa yang akan menanggung dosanya? MUI mungkin juga lupa bahwa ada yang tak kalah penting untuk dikhawatirkan : nasib petani tembakau, pabrik dan buruh rokok, pendapatan negara dari cukai, serta pecandu dan pecinta kopi sejati. Ingat, kopi dan rokok adalah jodoh yang tak terbantahkan. Huehehehe...

Sebagian orang beranggapan bahwa fatwa sudah di atas segala galanya. Padahal fatwa merupakan tindak lanjut pelaksanaan ajaran yang tercantum dalam Al Quran dan Hadist, terutama yang tidak tersurat, kemudian disesuaikan dengan perkembangan zaman. Lalu sejauh ini apakah fatwa "merokok itu haram" bisa efektif dijalankan? Jangankan kok fatwa MUI, yang jelas jelas hukumnya sudah ditulis di Qur'an saja banyak yang tidak dilaksanakan lho. Piye jal?

Negara dalam hal ini MUI memang harus aspiratif terhadap umatnya. Persoalan mau percaya atau tidak, itu soal lain. Sepanjang masalah itu bisa "diserahkan" kepada masyarakat, ya sudah.

Saya teringat suatu pagi ketika Cak Nun menghisap kreteknya dalam dalam dan berkata : “Lewat kepulan asap rokok kubayangkan ribuan buruh pabrik rokok meninggalkan pengajian rutin demi memburu upah lembur”.

Ngopi disik, ben ra edan....

0 Comments

Post a Comment